Sejarah Awal Munculnya Kampung Inggris Pare

Pare adalah nama salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Kediri Jawa timur. Di Kecamatan Pare ini ada dua desa yang unik untuk peningkatan sumber daya manusia yaitu desa Tulungrejo dan Pelem. Keunikan di kedua desa tersebut, terutama  di dusun Singgahan, Tulungrejo, Mulyoasri , Tegalsari dan Mangunrejo, adalah pembelajaran Bahasa Inggris. Kenapa dikatakan unik? Karena brand yang disematkan adalah BAHASA INGGRIS yang identik dengan kota metropolitan atau luar negeri yang serba modern, bahasa akademik dengan ilmu pengetahuan dan technologi canggih, tapi ini kok di dusun kecil dan terpencil lagi? Unik bukan?

Pare dikenal dengan istilah KAMPUNG INGGRIS karena lembaga kursus Bahasa Inggris disana sudah seperti jamur di musim hujan. Tidak kurang dari 160 lembaga, dan peserta kursusnya lengkap mulai dari Sabang sampai Merauke dan bahkan beberapa lembaga di Pare pernah menerima siswa dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.

Meskipun disebut Kampung Inggris, sebenarnya sekarang sudah banyak lembaga yang membuka kursus untuk berbagai bahasa seperti bahasa Arab, jepang, mandarin, perancis dll. Maka dari itu, sebagian orang sudah menjuluki Pare bukan dengan Kampung Inggris lagi, namun dengan julukan “Kampung Bahasa”.

Awal berdirinya kursus bahasa Inggris di Pare ini tidak lepas dari peran tokoh yang bernama M. Kalend O. Beliau adalah seorang pendatang dari Sebulu, Tenggarong, Kalimantan Timur. Mr. Kalend pernah belajar di Pondok Modern Gontor, kemudian belajar bahasa Inggris kepada ustadz Yazid, seorang ahli di bidang bahasa Asing di Tulungrejo Pare. Mulai dari sinilah pak Kalend mulai merintis karirnya yang kemudian merubah Pare menjadi kota kursusan bahasa Inggris.

Sebelum pak Kalend melembagakan kursusannya yang kemudian di namainya Basic English Course (BEC), beliau mengajar  bahasa Inggris secara private dan kadang dengan kelompok-kelompok kecil dari satu tempat ke tempat lain, istilahnya ‘nomadden’. “Saya dulu mengajar bahasa Inggris di emperan orang, dari satu tempat ke tempat lain.” Begitu kata pak Kalend setiap mengenalkan lembaganya ke siswa baru di awal pembelajaran.

Pada waktu Pak Kalend awal-awal mengajar pada tahun 70an, tidak banyak orang yang mau belajar bahasa Inggris, hanya sekitar lima sampai sepuluh orang. Itupun yang hadir saling bergantian, jarang istiqomah hadir bersamaan secara penuh di setiap pertemuan.  Jadi bongkar pasang. Bahkan pernah siswanya juga habis di tengah jalan.

Bisa dibayangkan betapa susahnya saat itu untuk mengumpulkan pelajar yang minat dan mau belajar bahasa Inggris.  Rata-rata pelajar waktu itu tidak suka bahasa Inggris, karena asumsi mereka bahasa Inggris itu sangat sulit, tidak menarik, bahasanya orang kafir, ditambah lagi lokasinya di daerah terpencil, listrik belum ada.

Pak Kalend ternyata orangnya tidak gampang menyerah dalam menghadapi berbagai keadaan dan tekanan; muridnya habis di tengah jalan, diperlakukan yang tidak layak oleh orang-orang yang tidak suka dengan bahasa Inggris,  tuntutan kebutuhan hidup yang terus mengejarnya, dll. Beliau tetap tegar, berdiri tegak dan mencari dan mencari siswa lagi untuk diajari bahasa Inggris.

Semangat perjuangan dan karakter beliau untuk mengekspresikan jati dirinya yang perlu kita teladani. Dengan perjuangan yang tanpa lelah demi sebuah cita-cita, beliau  tetap tegar tanpa menggantungkan baik kepada orang lain atau pemerintah. Apalagi minta dibelas-kasihani? Sama sekali tidak.

Meski dengan modal yang sangat terbatas tapi dengan pantang menyerah itulah akhirnya Pak Kalend banyak melahirkan alumni yang akhirnya ikut “meramaikan” kursusan di Pare hingga mencapai “prestasi” seperti sekarang ini.

*Tulisan ini disadur dari tulisan Drs. Nur Akhlis, M,Pd., pendiri EECC Pare, yang di posting di FB beliau tahun  2010. Tulisan sudah mengalami penyederhanaan, penambahan dan penyesuaian data.

Leave a Replay